BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama
dan utama. Disebut sebagai lingkungan pendidikan atau lembaga pendidikan
pertama karena sebelum manusia mengenal lembaga pendidikan yang lain, lembaga
pendidikan inilah yang pertama ada. Selain itu manusia mengalami proses
pendidikan sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan pertama kali adalah dalam
keluarga. Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam
menentukan kemajuan suatu bangsa, di samping terdapat faktor lingkunga lain,
keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter
anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya,
maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk
sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak
akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena
itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat
tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah. Terlebih pada prestasi anak
tersebut sendiri di bangku sekolah.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimanakah kedudukan keluarga sebagai wahana pertama dan utama pendidikan karakter anak ?
- Apa sajakah aspek-aspek penting dalam pendidikan karakter anak ?
- Bagaimanakah hubungan antara pola asuh keluarga dengan prestasi belajar anak ?
C.
Tujuan
- Mengetahui sejauh mana kedudukan keluarga sebagai wahana pertama dan utama dalam pendidikan karakter anak.
- Memahami secara jelas aspek-aspek dalam pendidikan karakter anak.
- Mengetahui secara pasti dan dapat memahami hubungan yang terbentuk antara pola asuh keluarga dengan prestasi belajar anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KELUARGA
SEBAGAI WAHANA PERTAMA DAN UTAMA PENDIDIKAN KARAKTER ANAK
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran
penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, keluarga merupakan wahana
pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal
melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi
lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan
keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat
yang tidak berkarakter. Karakter didefinisikan secara berbeda-beda oleh
berbagai pihak. Sebagian menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif
terhadap kualitas moral dan mental, sementarayang lainnya menyebutkan karakter
sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya
merubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap
intelektual seseorang (encyclopedia.thefreedictionary.com, 2004). Coon (1983)
mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian
seseorangyang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat
diterima oleh masyarakat. Sementara itu menurut Megawangi (2003), kualitas
karakter meliputi sembilan pilar, yaitu (1) Cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, Disiplin dan Mandiri; (3) Jujur/amanah dan
Arif; (4) Hormat dan Santun; (5) Dermawan, Suka menolong, dan Gotong-royong;
(6) Percaya diri, Kreatif dan Pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8)
Baik dan rendah hati; (9) Toleran, cinta damai dan kesatuan. Jadi, orang yang
memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki kesembilan pilar karakter
tersebut. Pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Erik Erikson
yang terkenal dengan teori Psychososial Development juga menyatakan hal yang
sama. Dalam hal ini Erikson menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia
menjadi manusia, yaitu masa di mana kebajikan berkembang secara perlahan tapi
pasti (dalam Hurlock, 1981). Dengan katalain, Karakter, seperti juga kualitas
diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter
pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) yang dimulai dari
lingkungan keluarga anak tersebut berada dan faktor lingkungan (nurture).
Menurut para developmental psychologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan
yang akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait
dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, ( Confusius )
seorang filsuf terkenal Cina menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki
potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan
dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi
binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi, 2003). Oleh karena itu,
sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan
dimulai dari keluarga sebagai wahana utama dan pertama, kemudian sekolah,
maupun lingkungan yang lebih luas sangat berperan penting dalam pembentukan
karakter seorang anak. Dalam hal pembinaan karakter ini sendiri keluarga
berperan memberikan pelajaran mengenai aturan main segala aspek yang ada di
dunia ini, serta memberikan pemahaman mengenai aturan main dalam hubungan
kemasyarakatan. Aturan main disini Menurut Garbarino & Brofenbrenner (dalam
Vasta, 1992), didefinisikan sebagai aturan-aturan yang menetapkan apa yang
salah dan apa yang benar, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan,
apa yang adil dan apa yang tidak adil, apa yang patut dan tidak patut. sehingga
nantinya mampu menanamkan dan mengaplikasikan aturan main tersebut dalam
kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
B.
ASPEK-ASPEK PENTING DALAM PENDIDIKAN KARAKTER ANAK
Dalam membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat
mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Ada tiga kebutuhan dasar anak
yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan
mental.
1. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya), merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya.Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.
1. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya), merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya.Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.
2. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan
lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan
karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan
perkembangan emosi bayi. normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan
hanya satu orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan
emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli
gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini
tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal.
3. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam
pembentukan karakter anak. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang
sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya,
mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang
berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga
menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan
menjadikannya anak yang kreatif.
C. POLA ASUH
KELUARGA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PRESTASI BELAJAR ANAK
1. POLA ASUH DALAM KELUARGA
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai
kebajikan (karakter) serta implementasinya terhadap prestasi belajar pada anak,
sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya.
Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan
orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan
lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan
lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak
dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga
meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter
anak. Secara umum Hurlock juga Hardy & Heyes mengkategorikan pola asuh
menjadi tiga jenis yaitu: (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh permisif, dan
(3) Pola asuh otoritatif ( demokratis ).
a. Otoriter
Yang dilakukan orang tua:
1) Memberikan tuntutan yang sangat tinggi terhadap
kontrol dan disiplin kepada anak, tanpa memperlihatkan ekspresi cinta dan
kehangatan yang nyata.
2) Menuntut anak untuk mengikuti standar yang
ditentukan tanpa mengizinkan anak untuk mengungkapkan perasaannya.
3) Ingin anak mengikuti kehendaknya tanpa banyak
bertanya. 4) Menutup diri dan menolak adanya diskusi.
Pengaruhnya pada anak:
1) takut memperlihatkan hasil karyanya, karena takut
dikritik yang akan diterimanya.
2) Tidak memiliki keberanian untuk mencoba hal-hal
baru.
3) Tidak memiliki masalah dengan pergaulan kenakalan
remaja.
4) Tapi memiliki pribadi yang kurang percaya diri,
ketergantungan dengan orang tua tinggi, dan lebih mudah mengalami stress.
b.Permisif
Yang dilakukan orang tua:
1) Cenderung menghindari konflik dengan anak.
2) Membiarkan anak untuk melakukan apa pun yang
diinginkan oleh anak.
3) Tak memberikan batasan yang jelas apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh.
4) Takut memberikan larangan karena dianggap terkesan
tidak mencintai anak.
Pengaruhnya pada anak:
1) Merasa boleh berbuat sekehendak hatinya.
2) Memiliki rasa kepercayaan diri dan kemampuan
bersosialisasi yang cukup besar.
3) Namun akan mudah terseret pada bentuk kenakalan
remaja dan memiliki prestasi sekolah yang rendah. Anak tidak mengerti
norma-norma social yang harus dipenuhinya.
4) Anak menjadi bingung, karena ia merasa tidak salah
tetapi mendapat penilaian buruk dari orang lain akibat kurangnya pemahaman
terhadap norma yang dimilikinya.
c.Otoritatif (Demokratis)
Yang dilakukan orang tua:
1) Memberi kontrol terhadap
anak dalam batas-batas tertentu, dengan tetap memberikan dukungan, kehangatan
dan cinta kepada anak.
2) Memonitor
dan menjelaskan standar dengan tetap memberikan kebebasan kepada anak untuk
berekspresi.
3) Menghargai prestasi yang telah dicapai anak,
sekecil apa pun yang telah diperlihatkan oleh anak.
Pengaruhnya pada anak:
1)Merasa bahwa dia dihargai.
2)Dapat berdiskusi dengan leluasa dengan orang tua
tanpa takut dikritik atau disalahkan.
3)Merasa bebas mengungkapkan kesulitannya,
kegelisahannya kepada orang tua karena ia tahu bahwa orang tua akan membantu
memberikan jalan keluar tanpa mendiktenya.
4)Tumbuh menjadi individu yang mampu mengontrol
dirinya sendiri, betanggung jawab dan mampu bekerjasama dengan orang lain.
Pada intinya Pola asuh demokratis mempunyai ciri :
1) Ada kerjasama antara orangtua – anak.
2) Anak diakui sebagai pribadi.
3) Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua.
.4) Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku.
Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam
pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih
mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab.
Sementara, orangtua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang
tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan
anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah.
Menurut Arkoff (dalam Badingah, 1993), anak yang
dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya
dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang
sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau
ditolak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk
tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secara permisif
cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau
terang-terangan.
Menurut Middlebrook (dalam Badingah, 1993), hukuman
fisik yang umum diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk
membentuk tingkah laku anak karena :
(a) menyebabkan marah dan frustasi (dan ini tidak
cocok untuk belajar)
(b) adanya perasaan-perasaan menyakitkan yang
mendorong tingkah laku agresif
(c) akibat-akibat hukuman itu dapat meluas sasarannya,
misalnya anak menahan diri untuk memukul atau merusak pada waktu ada orangtua
tetapi segera melakukan setelah orangtua tidak ada
(d) tingkah laku agresif orangtua menjadi model bagi
anak.
Dalam Teori PAR (Parental Acceptance-Rejection
Theory)- menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang menerima (acceptance)
atau yang menolak (rejection) anaknya, akan mempengaruhi perkembangan emosi,
perilaku, sosial-kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa
kelak. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima adalah anak yang
diberikan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan kata-kata cinta dan kasih
sayang, kata-kata yang membesarkan hati, dorongan, dan pujian), maupun secara
fisik (diberi ciuman, elusan di kepala, pelukan, dan kontak mata yang mesra).
Sementara, anak yang ditolak adalah anak yang mendapat perilaku agresif orang
tua, baik secara verbal (kata-kata kasar, sindiran negatif, bentakan, dan
kata-kata lainnya yang dapat mengecilkan hati), ataupun secara fisik (memukul,
mencubit, atau menampar). Sifat penolakan orang tua dapat juga bersifat
indifeerence atau neglect, yaitu sifat yang tidak mepedulikan kebutuhan anak
baik fisik maupun batin, atau bersifat undifferentiated rejection, yaitu sifat
penolakan yang tidak terlalu tegas terlihat, tetapi anak merasa tidak dicintai
dan diterima oleh orang tua, walaupun orang tua tidak merasa demikian.
Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh
orang tua yang menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap
berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif
mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri
namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak
dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan
dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya
akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak
mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan
berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap
sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya
berharga.
Dari paparan di atas jelas bahwa jenis pola asuh yang
diterapkan orang tua kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan pendidikan
karakter anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan
dalam pembentukan karakter yang baik.
Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :
Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :
1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik
secara verbal maupun fisik.
2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.
4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
6. Tidak menanamkan “good character’ kepada anak.
2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.
4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
6. Tidak menanamkan “good character’ kepada anak.
Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di
atas, menurut Megawangi akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian
bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah.
1.Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain,
dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan,
rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan
menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di
sekitarnya.la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi
oleh orang lain.
2. Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
4.Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada “peer group”nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.
2. Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
4.Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada “peer group”nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.
2. PRESTASI ANAK
Poerwanto (1986:28) memberikan pengertian prestasi
belajar yaitu “hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar
sebagaimana yang dinyatakan dalam raport.” Selanjutnya Winkel (1996:162)
mengatakan bahwa “prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau
kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan
bobot yang dicapainya.” Sedangkan menurut S Nasution (1996) prestasi belajar
adalah kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat.
Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni kognitif,
afektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika
seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar
merupakan tingkat kemampuan siswa yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak
dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar.
Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam
mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport
setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar. Prestasi belajar
adalah dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil evaluasi dapat
memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa.
3. PENGARUH POLA ASUH TERHADAP PRESTASI SISWA
|
Ketika anak mempunyai masalah dengan sekolah, hubungan
dengan seseorang dan lingkungannya, responden menyatakan 40 % mereka lebih
suka/nyaman membicarakannya dengan orang tua karena orang tua lebih bisa
menyimpan rahasia pribadi dan memberikan solusi, nasehat untuk membantu
menyelesaikan masalah. Sedangkan 60 % mereka lebih suka curhat dengan temannya
dengan alasan karena teman atau sahabat mereka menjadi tempat berbagi cerita
dan menjadi kepercayaan mereka. Orang tua dengan pola asuh otoritatif bersikap
responsif terhadap kebutuhan anak dan mendorong anak untuk menyatakan pendapat
atau pertanyaan. Dari 10 responden 100 % mereka menyatakan bahwa orang tua
mereka mau mendengarkan pendapat, solusi dan berdiskusi terhadap suatu hal atau
masalah. Sikap orang tua tersebut akan memberikan efek rasa percaya diri anak
terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Dengan
berdiskusi memberikan ruang bagi orang tua untuk memberikan penjelasan tentang
dampak perbuatan yang baik dan buruk bagi anak dan anak pun memahami sikap dan
alasan orang tua terhadap mereka. Sehingga hal ini akan memberikan kepercayaan
anak terhadap orang tua bahwa mereka mendukung sepenuhnya aktivitas mereka dan
harapan akan menjadi orang yang berhasil dan bermanfaat.
QS. Ar Rum Ayat
41-42
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman jadikanlah
sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar.
(Al-Baqarah [2] : 153)
(Al-Baqarah [2] : 153)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
Keluarga merupakan lingkungan sekaligus wadah yang
pertama dan utama yang memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan
kerakter sekaligus prestasi anak. Hal ini meliputi upaya yang dapat dilakukan
oleh orang tua dalam mengajarkan aturan main yang berlaku dalam kehidupan di
dunia maupun di dalam kehiduoan bermasyarakat melalui pola-pola interaksi yang
berlangsung antara orangtua dengan anak atau yang lebih dikenal dengan pola
asuh. Pola asuh yang berbeda antara orangtua masing-masing anak akan
berprngaruh pada hasil karakter yang terbentuk dalam diri anak yang
bersangkutan. Ada yang berdampak positif dan juga negatif tergantung pola mana
yang dipilih orangtua tersebut. Setelah didasarkan dengan penelitian yang ada
pola sauh demokratis lebih berdampak positif di banding pola asuh yang lain.
Sebagai saran yang ingin saya sampaikan mungkin dalam
mendidik anak orang tua dapat melakukan hal-hal berikut sebagai pertimbangan,
yaitu antara lain :
- Harus disertai kasih sayang
- Tanamkan disiplin yang membangun
- Luangkan waktu kebersamaan dengan keluarga
- Ajarkan salah benar
- Kembangkan sikap saling menghargai
- Perhatikan dan dengarkan pendapat anak
- Membantu mengatasi masalah
- Melatih anak mengenal diri sendiri dan lingkungnan
- Mengembangkan kemandirian
- Memahami keterbatasan pada anak
- Menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Komentar
Posting Komentar