Generasi Z : kreatif, sensasi dan kontroversi


Dalam teori generasi (Generation Theory) yang dikemukakan Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, Penguin, (2004) 5 generasi manusia berdasarkan tahun kelahirannya, yaitu: (1) Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964; (2) Generasi X, lahir 1965-1979; (3) Generasi Y, lahir 1980-1996, sering disebut generasi millennial; (4) Generasi Z, lahir 1997-2009 (disebut juga iGeneration, GenerasiNet, Generasi Internet). DAN (5) Generasi Alpha, dimulai dari tahun 2010 (akhir dari generasi masih ambigu dan belum di tentukan). Kelima generasi tersebut memiliki perbedaan pertumbuh kembangan kepribadian.

Generasi Z tumbuh dengan peradaban teknologi yang semakin maju, Sangat suka dan sering berkomunikasi dengan semua kalangan khususnya lewat jejaring sosial seperti facebook, twitter, line, whatsapp, telegram, instagram, atau SMS. Melalui media ini mereka jadi lebih bebas berekspresi dengan apa yang dirasa dan dipikir secara spontan.

Generasi Z kreatif dalam mengemukakan fikiranya bisa lewat media sosial yang mereka gunakan, seperti contoh yang baru baru viral yaitu tiktoker bima, dia memanfaatkan kanal media sosial untuk mengaspirasikan apa yang ada di pikiranya terkait tentang daerah dimana tempat dia lahir.

Pendampingan generasi Z menuntut para guru untuk terus kreatif di era yang serba cepat, seorang pendidik harus up to date terhadap isu isu terkini, penggunaan teknologi dan media sosial yang ada, bagaimana mungkin jika seorang pendidik tidak menyesuaikan dengan era yang ada, justru akan tertinggal dan akan menjadi seorang pendidik yang membosankan

Gen Z lahir dengan salah satu kelebihan mampu memahami dirinya sendiri. Itu mengapa, karakter Hiperkustomisasi menjadi salah satu ciri khas Gen Z. Dari sana, siswa menjadi terbiasa menentukan kebutuhan apa yang mereka butuhkan dan perlu dapatkan. Aktivitas mereka berselancar di dunia maya, merupakan bagian dari cara Gen Z memenuhi kebutuhan akan dirinya.  Dalam konteks pendidikan, memberikan kebebasan siswa menentukan cara belajarnya merupakan sebuah kebutuhan. Guru perlu untuk mampu melakukan personalisasi cara-cara belajar bagi setiap siswa, dan memberikan siswa lebih banyak kesempatan untuk mencari sumber belajar di luar aktivitas bersekolah. Karakter hiperkustomisasi menyebabkan siswa juga menjadi terbiasa mengkritisi banyak hal di sekelilingnya, termasuk memberikan masukan terhadap media-media belajar yang selama ini digunakannya. Penting bagi ekosistem pendidikan untuk memberikan ruang kepada para siswa untuk menyampaikan gagasan dan penilaiannya tentang proses belajar yang mereka jalani sehari-hari, termasuk berkesempatan merekonstruksi harapan mereka tentang pendidikan di masa depan. Kenyamanan belajar adalah yang utama bagi Gen Z.

Dalam praktik pembelajaran saat ini, siswa menjadi sangat kompetitif dengan keragaman potensi yang dimilikinya. Ini perlu menjadi catatan penting bagi pendidikan khusunya guru untuk mampu memfasilitasi karakter terpacu tersebut melalui berbagai media yang mampu mengakomodasi potensi siswa yang beragam, tanpa mengarahkan pada upaya memperbandingkan antara siswa yang satu dan yang lainnya. Siswa perlu lebih banyak diapresiasi dan menjadikan praktik tersebut sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya-upaya reflektif semua pihak dalam memperbaiki kualitas pembelajaran.

Karakter lain dari Gen Z adalah Weconomist. Pada karakter ini, Gen Z lebih menyenangi kegiatan yang sifatnya berkelompok dan selalu terhubung dengan sejawatnya. Dalam pembelajaran, karakter ini dapat difasilitasi dengan penerapan pendekatan pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu siswa dan mengondisikan siswa untuk saling berkolaborasi dalam menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran yang diberikan. Pendekatan pembelajaran berbasis proyek dan sejenisnya akan membuat siswa terbiasa bekerja dengan kelompok dan berbagi informasi di dalamnya. Siswa perlu lebih banyak didekatkan dengan sesamanya, untuk dapat saling belajar dan memberikan masukan dengan komunitasnya (peer review), dengan tetap menempatkan guru sebagai fasilitator belajar. Kegiatan eksplorasi siswa juga perlu untuk semakin dihidupkan melalui berbagai percakapan/diskusi antar siswa. Siswa saling menyampaikan apa yang mereka temui dan mereka harapkan, serta mempertemukan mereka pada berbagai ide dan gagasan. Upaya ini berkaitan juga dengan karakteristik Gen Z yang lebih senang melalukan banyak hal sendiri (DIY/Do It Yourself). Untuk membangun karakter ini, guru dapat banyak membangun pembelajaran dengan pendekatan yang beragam untuk mendorong kreativitas siswa dalam banyak hal. Internet perlu lebih diarahkan oleh guru sebagai sumber informasi dan inspirasi meningkatkan keterampilan hidup siswa.

Bagaimanapun, proses belajar harus bersifat mandiri, demokratis, dan membuka ranah yang luas bagi penciptaan dan penemuan hal-hal baru dalam pembelajaran. Guru perlu menciptakan iklim belajar yang mampu membangun self regulation pada diri siswa. Siswa juga perlu lebih banyak dilatih untuk realistis tentang kehidupan dan masa depannya nanti. Guru juga perlu menyampaikan secara terbuka peluang, tantangan dan juga hambatan yang mungkin nantinya akan membuat siswa memerlukan upaya lebih untuk mencapai cita-cita yang mereka impikan. Dengan berbagai upaya tersebut, pendidikan diharapkan mampu memberikan masukan tentang hal-hal rasional yang perlu Gen Z lakukan dalam kehidupan mereka, pada saat ini dan juga nanti

Analisis dalam artikel ini mengambil beberapa referensi dari KTI penulis yang telah diterbitkan oleh Jurnal Masyarakat Indonesia, LIPI, edisi 1, Juni 2020 dengan judul "Memahami Generasi Pascamilenial: Sebuah Tinjauan Praktik Pembelajaran Siswa" dan wikipedia

Komentar